Mandikan Aku Bunda
Kata Bijak Kata Mutiara Kata Hikmah Kata Nasehat Berikut ini adalah kisah atau dongeng menarik yang cocok untuk di sampaikan kepada anak anak, remaja, pemuda bahkan pada orang tua, pria muda dan wanita. Kisah hikmah, Kisah renungan bisa membuat kita sadar dan bisa jadi hiburan, begitu pula dengan kisah lucu, cerita humor yang bisa di jadikan hiburan juga sebagai pelajaran. Saya berharap dengan kisah ini nantinya kita semua bisa mengambil hikmah dan pelajaran untuk kemudian kita ambil hikmahnya sebagai bekal untuk hidup baik di masa sekarang dan yang akan datang, amin... Selamat Membaca dan semoga bermanfaat. Jangan lupa jika kisah ini bagus dan bermanfaat silahkan beritahu teman jika kurang bermanfaat silahkan hubungi admin .
→←®™
Eramuslim.com | Media Islam Rujukan,
Eramuslim.com | Media Islam Rujukan,
Bincang-bincang
soal pembagian tugas suami-isteri, selalu saja menarik. Sepanjang masa
berbagai argumen dikemukan, tidak sedikit para ustadz dan ulama urun
rembug memberikan arahan dan fatwa. Selama itu pula, sepertinya ada saja
fenomena yang pantas untuk diungkap.
Sebagian
akhwat atau wanita menganggap tugas wanita lebih sebagai manajer di
rumahnya tanpa perlu dipusingkan urusan dapur dan merawat anak yang
lebih pantas dilakukan oleh para bawahan, alias pembantu ataupun
baby-sitter. Peran sosial dan aktualisasi diri menjadi lebih utama. Di
sisi lain, tidak sedikit akhwat yang tetap "teguh" dan bangga dengan
kesibukan seputar urusan dapur dan diaper ini. Mereka cukup puas dengan
imbalan surga untuk jerih payahnya membenamkan muka di asap "sauna"
mazola (minyak goreng) dan berparfumkan aroma popok bayi.
Saya
tidak hendak membahas kekurangan dan kelebihan kedua sisi ini. Seperti
saya tulis di muka, sudah banyak para ulama dan ustadz yang memberikan
arahan. Saya hanya ingin bertutur tentang seorang sahabat saya. Sebut
saja Rani namanya.
Semasa
kuliah ia tergolong berotak cemerlang dan memiliki idealisme yang
tinggi. Sejak awal, sikap dan konsep dirinya sudah jelas : meraih yang
terbaik, baik itu dalam bidang akademis maupun bidang profesi yang akan
digelutinya. Ketika Universitas mengirim kami untuk mempelajari Hukum
Internasional di Universiteit Utrecht, di negerinya bunga tulip,
beruntung Rani terus melangkah. Sementara saya, lebih memilih
menuntaskan pendidikan kedokteran dan berpisah dengan seluk beluk hukum
dan perundangan. Beruntung pula, Rani mendapat pendamping yang "setara "
dengan dirinya, sama-sama berprestasi, meski berbeda profesi.
Alifya,
buah cinta mereka lahir ketika Rani baru saja diangkat sebagai staf
Diplomat bertepatan dengan tuntasnya suami Rani meraih PhD. Konon nama
putera mereka itu diambil dari huruf pertama hijaiyah "alif" dan huruf
terakhir "ya", jadilah nama yang enak didengar : Alifya. Tentunya
filosofi yang mendasari pemilihan nama ini seindah namanya pula.
Ketika
Alif, panggilan untuk puteranya itu berusia 6 bulan, kesibukan Rani
semakin menggila saja. Frekuensi terbang dari satu kota ke kota lain dan
dari satu negara ke negara lain makin meninggi.
Saya
pernah bertanya , " Tidakkah si Alif terlalu kecil untuk ditinggal ?"
Dengan sigap Rani menjawab : " Saya sudah mempersiapkan segala
sesuatunya. Everything is ok." Dan itu betul-betul ia buktikan.
Perawatan dan perhatian anaknya walaupun lebih banyak dilimpahkan ke
baby sitter betul-betul mengagumkan. Alif tumbuh menjadi anak yang
lincah, cerdas dan pengertian. Kakek neneknya selalu memompakan
kebanggaan kepada cucu semata wayang itu tentang ibu-bapaknya.
"
Contohlah ayah-bunda Alif kalau Alif besar nanti." Begitu selalu nenek
Alif, ibunya Rani bertutur disela-sela dongeng menjelang tidurnya. Tidak
salah memang. Siapa yang tidak ingin memiliki anak atau cucu yang
berhasil dalam bidang akademis dan pekerjaannya. Ketika Alif berusia 3
tahun, Rani bercerita kalau Alif minta adik. Waktu itu Ia dan suaminya
menjelaskan dengan penuh kasih-sayang bahwa kesibukan mereka belum
memungkinkan untuk menghadirkan seorang adik buat Alif. Lagi-lagi bocah
kecil ini "dapat memahami" orang tuanya.
Mengagumkan
memang. Alif bukan tipe anak yang suka merengek. Kalau kedua orang
tuanya pulang larut, ia jarang sekali ngambek. Kisah Rani, Alif selalu
menyambutnya dengan penuh kebahagiaan. Rani bahkan menyebutnya malaikat
kecil. Sungguh keluarga yang bahagia, pikir saya. Meski kedua orang tua
sibuk, Alif tetap tumbuh penuh cinta. Diam-diam hati kecil saya
menginginkan anak seperti Alif.
Suatu
hari, menjelang Rani berangkat ke kantor, entah mengapa Alif menolak
dimandikan baby-sitternya. " Alif ingin bunda mandikan." Ujarnya. Karuan
saja Rani yang dari detik ke detik waktunya sangat diperhitungkan,
menjadi gusar. Tak urung suaminya turut membujuk agar Alif mau mandi
dengan tante Mien, baby-sitternya. Persitiwa ini berulang sampai hampir
sepekan," Bunda, mandikan Alif?" begitu setiap pagi. Rani dan suaminya
berpikir, mungkin karena Alif sedang dalam masa peralihan ke masa
sekolah jadinya agak minta perhatian.
Suatu
sore, saya dikejutkan telponnya Mien, sang baby sitter. " Bu dokter,
Alif demam dan kejang-kejang. Sekarang di Emergency". Setengah terbang,
saya pun ngebut ke UGD. But it was too late. Allah sudah punya rencana
lain. Alif, si Malaikat kecil keburu dipanggil pemiliknya.
Rani,
bundanya tercinta, yang ketika diberi tahu sedang meresmikan kantor
barunya,shock berat. Setibanya di rumah, satu-satunya keinginan dia
adalah memandikan anaknya. Dan itu memang ia lakukan, meski setelah
tubuh si kecil terbaring kaku. " Ini bunda, Lif. Bunda mandikan Alif."
Ucapnya lirih, namun teramat pedih.
Ketika
tanah merah telah mengubur jasad si kecil, kami masih berdiri mematung.
Berkali-kali Rani, sahabatku yang tegar itu berkata, " Ini sudah
takdir, iya kan ? Aku di sebelahnya ataupun di seberang lautan, kalau
sudah saatnya, dia pergi juga kan ? ". Saya diam saja mendengarkan. "
Ini konsekuensi dari sebuah pilihan." lanjutnya lagi, tetap tegar dan
kuat. Hening sejenak. Angin senja berbaur aroma kamboja. Tiba-tiba Rani
tertunduk. " Aku ibunya !" serunya kemudian, " Bangunlah Lif. Bunda mau
mandikan Alif. Beri kesempatan bunda sekali lagi saja, Lif". Rintihan
itu begitu menyayat. Detik berikutnya ia bersimpuh sambil mengais-kais
tanah merah ?..
Sekali
lagi, saya tidak ingin membahas perbedaan sudut pandang pembagian tugas
suami isteri. Hanya saja, sekiranya si kecil kita juga bergelayut : "
Mandikan aku, Bunda ." Akankah kita menolak ? Ataukah menunggu sampai
terlambat ?
Wassalam,
Ema